Musim yang Membakar, Suara yang Terabaikan

 

Kompas.tv, Musim kemarau datang tak hanya membawa panas, tapi juga luka yang tersembunyi. Di pelosok-pelosok negeri, kami temui rumah-rumah yang hangus—bukan hanya karena api, tapi karena abai yang terlalu lama. Tak selalu ada kamera yang merekam saat daun-daun berubah abu, atau saat seorang ayah hanya bisa pasrah melihat lumbung terbakar. Tapi suara mereka tetap ada, meski tak memakai mikrofon.

 

Cerita yang Tak Butuh Disorot untuk Jadi Penting

 

Kami duduk di antara reruntuhan. Tak ada podium, tak ada juru bicara. Hanya warga yang bercerita apa adanya: tentang panen yang gagal, tentang ternak yang tak sempat diselamatkan, tentang malam yang mereka lewati tanpa dinding. Suara mereka kecil, kadang tercekat. Tapi justru di situlah letak kekuatannya. Di balik cerita itu, kami dengar satu hal yang nyaring—mereka tidak minta dikasihani, mereka hanya ingin didengarkan.

 

Mikrofon Tak Selalu Jadi Alat Utama

 

Kami tahu, tak semua kesedihan bisa dijelaskan dengan kutipan. Tak semua keberanian bisa ditangkap lewat angka. Maka kami letakkan alat kami sejenak, dan memilih mendengar dengan hati. Kami tak datang membawa solusi cepat, tapi kami datang dengan niat utuh untuk membawa cerita mereka ke ruang yang lebih luas. Karena suara mereka berhak didengar, meski tak keluar lewat pengeras suara.

 

Dari Abu, Kami Bawa Pulang Nyala

 

Di antara sisa api yang membakar, kami temui nyala lain yang tak padam: harapan. Mereka ingin bangkit, meski harus dari awal. Dan tugas kami bukan hanya mencatat, tapi memastikan bahwa kisah mereka tak ikut hilang bersama debu. Kami tidak sekadar meliput kebakaran, kami mendengar bagaimana rasanya kehilangan segalanya. Karena di setiap rumah yang terbakar oleh musim, kami tahu: ada suara yang harus kita perjuangkan untuk tetap terdengar.